Minggu, 14 Desember 2014

Ushul Fiqh (Dialog Pemikiran Hukum Islam)

Judul buku         : Ushul Fiqh (Dialog Pemikiran Hukum Islam)
Pengarang          : Syaiful Ilmi & Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag
Penerbit              : STAIN Pontianak Press
Pengantar           : Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag.
BAB 1
FILSAFAT HUKUM ISLAM
A.      Pendahuluan
Hukum islam bersumber pada wahyu allah yang tertulis dalam Al-qur’an dan As-sunnah. Namun, dengan seiring perkembangan dan kemajuan zaman, Al-qur’an dan As-sunnah tidak dapat mengimbangi dikarenakan masalah dalam masyarakat semakin kompleks, oleh karena itu di butuhkan orang-orang ahli hukum yang dapat memberikan pemahaman dan tafsiran terhadap al-qur’an dan As-sunnah secara sistematis dan logis agar dapat di terima masyarakat dan bisa di jadikan solusi dalam menghadapi masalah tersebut.
B.       Filsafat Hukum Islam dan Ranh Filosofis
Filsafat islam adalah jenis keilmuan baru, oleh karena itu di butuhkan pembahasan yang mendalam dan seksama, bahkan para ahli hukum menemui kesulitan dalam menafsirkan dan memberi pemahaman tentang ilmu filsafat islam agar dapat di terima masyarakat luas.

Filsafat
Kata filsafat berasal dari Philoshopia, secara umum dapat di artikan sebagai keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijaksanaan. Banyak para ahli yang mencoba mendefinisikan  tentang filsafat. Naman, para ahli filsafat mengungkapkan definisi tentang filsafat menggunakan gaya bahasa penulisan yang sangat sulit di pahami dan tentu saja ini berpengaruh terhadap tujuan dan maksud dari pengertian filsafat itu sendri.
Hukum Islam
Menurut Joseph Schacht hokum islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah allah yang mengatur perilaku kehidupan umat islam dalam segala aspeknya. Hukum islam terbentuk dari pemikiran islam yang kemudian di wujudkan dengan perilaku keseharian umat islam. Menurut Hasby hukum islam sangat identik dangan term fiqh, sebagaimana beliau menyebutkan bahwa hukum islam merupakan koleksi daya upaya fuqoha’ dalam menerapkn syari’at atas kebutuhan masyarakat, namun ada pembedaan antara term fiqh dan syari’at.
Filsafat Hukum Islam
Secara umum filsafat hokum islam adalah pemikiran ilmiah, sitematik dan dapat di pertanggungjawabkan. Muslehuddin menyamakan antara filsafat hokum islam dengan syari’at atau ushul fiqh. Pemikiran tentang hokum islam telah lahir sejak awal sejarah umat islam, contohnya mengenai perdebatan antara golongan anshar dan muhajirin, tentang siapa yang akan menjadi penerus perjuangan nabi Muhammad SAW, ini adalah bentuk sederhananya. Pada dasarnya ada tiga masalah pokok upaya manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu objek yang ingin diketahui (ontologis), cara memperoleh pengetahuan (epistomologis), dan nilai yang di hasilkan ilmu ppengetahuan tersebut bagi manusia (aksiologis).
BAB II
FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN HUBUNGANNYA DENGAN USHUL FIQH
A.    Pendahuluan
Fiqh identik dengan hokum islam, dimana pedoman dari hokum islam adalah  wahyu allah dan sunnah rasul sedangkan pembahasan fiqh lebih mendetail yaitu bagan terkecil dari syari’at.
B.     Filsafat Hukum Islam
Filsafat hokum islam adalah penerapan ilmu filsafat pada hokum islam. Namun pada mulanya penerapan ini tidak memiliki batasan atau aturan yang jelas.
C.    Urgensi Filsafat Hukum  Islam
Pengkajian filsafat hokum islam sangat di perlukan untuk menghadpi kemajuan dan perkembangan zaman, karna di dalam al-qur’an dan as-sunnah butuh penafsiran dan pemahaman menggunakan akal agar dapat di terima secara logis oleh masyarakat dan membuktikan bahwa hokum islam adalah hokum terbaik sepanjang zaman.
D.    Hubungan filsafat hokum islam dengan ushul fiqh
Keterkaitan antara kedua ilmu di atas ibarat kita sedang makan mi rebus, tentunya cara memakannya berbeda dengan nasi padang, dimana nasi padang dapat di makan menggunakan tangan langsung, namun sangat tidak lazim jika mi rebus dimakan menggunakan tangan langsung, tentu dalam memakan mi rebus membutuhkan sendok dan garpu. Nah, di sini mi rebus yang akan di makan sebagai hokum islam, sedok dan garpu sebagai filsafat hokum islam, sedangkan tata caranya memakan mi rebus sebagai ushul fiqh. Atau lebih tepatnya dalam mempelajari hokum islam melalui filsafat hokum islam di atur atau di beri batasan oleh ushul fiqh.
BAB III
USHUL FIQH : PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA
A.    Pendahuluan
Pada waktu nabi masih hidup segala persoalan para sahabat dapat di selesaikan dengan langsung bertanya pada beliau, kemudian beliau langsung memberikan jawaban berupa ayat-ayat al-qur’an. Namun dengan seiring meninggalnya nabi, setiap ada persoalan yang datang para sahabat mencari jawabannya di al-qur’an dan as-sunnah, jika meraka tidak menemukan  secara harfiah maka mereka menggunakan nalar dan logika untuk mencari solusinya, hal ini di namakan berijtihad, yaitu mencari titik kesamaan dari persoalan yang terjadi dengan segala sesuatu yang telah di tetapkan dalam al-qur’an dan hadits. Tentunya usaha para sahabat ini di dasarkan dengan pertimbangan pada usaha “menjaga kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hokum syara’.
B.     Pengertian ushul fiqh
Ushul fiqh adalah ilmu tentang aturan cara atau usaha merumuskan hokum syara’ dari dalilnya yang terinci atau aturan yang menjelaskan tentang cara-cara mengeluarkan hokum-hukum dari dalil-dalilnya. Ushul fiqh merupakan pedoman bagi seorang faqih dalam usahanya mencari tahu dan mengeluarkan hokum syar’i dari dalil-dalilnya.
C.    Urgensi ushul fiqh
Menurut Abdul Wahab Khollaf , tujuan dari ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil-dalil terpeinci  untuk mendatangkan hokum syari’at islam yang di ambil dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan menurut  Amir Syarifuddin tujuan yang hendak di capai oleh ushul fiqh adalah untuk menerapakan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hokum-hukum syara’ yang bersifat amali, seperti yang ditunjuk oleh dalil-dalil tersebut. Namun, secara garis besar tujuan ushul fiqh adalah agar hokum didalam dalil-dalil dapat dipahami isi maupun maksud dari dalil-dalil tersebut agar tidak di salahartikan dan setiap permasalahan yang datang di ketemukan solusinya dan dapat di terima secara nalar maupun nurani.
D.    Pertumbahn dan perkembangan ushul fiqh
Perumusan fiqh sebernarnya sudah muncul setelah wafatnya nabi, yaitu pada periode tabiin. Para sahabat-sahabat yang mulai merumuskan lahirnya fiqh namun tidak secara sengaja diantaranya adalah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib. Sewaktu Ali menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, ia berkata :  “ bila ia minum, ia akan mabuk. Ia akan menuduh orang berzina secara tidak benar, maka kepadanya ia di berikan sanksi tuduhan berbuat zina”. Dari pernyataan Ali tersebut  akan di ketahui bahwa Ali menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbuk atau “sadd al-Dzari’ah”. Pada periode sahabat ini lah perumusan hokum semakin meluas seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang datang kemudian beberapa ulama tabiin mengeluarkan fatwa hokum untuk menjawab setiap masalah yang muncul,. Para tabiin tersebut diantaranya adalah Said Al-musyayyab di Madinah dan Ibrahim Al-Nakhai di Irak.  Tentunya para ulama ini sudah mengetahui secara baik dari ayat-ayat hokum dalam al-qur’an dan mempunyai koleksi banyak hadits.
            Ada banyak ulama yang merumuskan fiqh dengan metode yang berbeda-beda misalnya Abu hanifah dan Imam malik. Kemudian muncullah Imam Syafi’i sebagai ulama pertama yang mengkodifikasikan kaidah-kaidah ini secara sistematis dan di beri syarah yang mendalam. Dalam masa pengkodifikasian ini di tulislah kitab Ar-Risalah, dengan bekal sejuta pengalaman dari Al-Maliki langsung dan dari Muhammad Hasan Syaibani (murid Abu Hanifah) saat di Irak maupun dari pembelajaran yang ia peroleh dari perdebatan yang sedang marak terjadi di dunia islam yang ia lihat.
E.     Kitab Ar-Risalah
Pada mulanya kitab ini di beri nama kitabi (kitabku). Penamaan Ar-Risalah muncul ketika beliau mengirimkan kitab tersebut kepada salah seorang pejabat dinasti Abbasiyyah yaitu Abdurahman bin Mahdi. Kemudian kitab tersebut di tulis ulang oleh Imam Syafi’i dan menjadikannya sebagai pengantar kitab fiqhnya, Al-umm adapun sistematika kita tersebut terbagi menjadi beberapa hal-hal pokok :
1.      Pengertian, ruang lingkup dan tujuan ushul fiqh
2.      Lafadz-lafadz yang digunakan syar’I dalam Al-qur’an dan hadits sepert lafadz hakikat, majas, khas, umum, mutlaq, muqqayad, mujmal, mufassior, muhkam, mutasyabihat, dan takwil
3.      Masalah ijtihad, taklid, dan talfik
4.      Metode yang di gunakan dalam berijtihad seperti qiyas, istihsan, istislah, istishab, dan sad al-adziriyah
5.      Cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan.
Dasar tersebut di jadikan pedoman oleh para ulama pengikut imam Syafi’I dan sebagian ulama mencoba mengembangkan ushul fiqh yang telah di buat Imam Syafi’i dengan cara mensyarahkan dan memperinci yang global sehingga kitab tersebut semakin baik sistematikanya.




BAB IV
AS-SUNNNAH DAN AKTUALISASINYA DALAM HUKUM ISLAM
A.    Pendahuluan
Masa silih berganti namun perdebatan seputar As-sunnah tiada henti. Dari dulu sudah ada golongan yang menolak secara keseluran as-sunnah, mereka adalah Qur’aniyyun, dimana perbuatanya hanya mendasar pada al-qur’an. Hal ini bahas oleh syafi’I dalam satu bab khusus di dalam al-um, yang di beri judul “pembahasan tentang pendapat golongan yang menolak khabar secara keseluruhan”. Secara umum topic yang selalu menjadi perdebatan adalah seputar makna dan pemahaman terhadap as-sunnah, bagaimana menempatkan dan cara-cara berinteraksi dengannya. Sebagai contoh, ada satu perbuatan yang benar-benar pernah dilakukan oleh rasulaallah, satu pihak mengganggap perbuatan tersebut adalah as-sunnah dan harus di ikuti, di lain pihak menganggap perbuatan tersebut adalah bentuk aktualisasi rasulallah sebagai manusia.
B.     Makna As-Sunah
Pada masa-masa awal as-sunnah tidak di tempatkan lebih tinggi dari sunnah orang-orang muslim terkemuka lainnya. Hal ini terbukti dengan di temukannya kitab al-muwatta’ karya imam malik, dimana isi kitab terebut becampur antara perkataan rasulallah dengan perkataan sahabat yang di riwayatkan oleh para tabi’in. Begitu juga ketika imam malik menjadikan praktik ahli madinah sebagai dalil hukumnya. Hal senada kita temukan ketika qaul sahabat di jadikan hujjah.
Pemahaman seperti ini berlangsung hingga kemunculan tesis as-syafii, yang mengatakan sunnah sejati adalah sunnah nabi. Hal ini yang harus dipahami sebelum terjadinya perdebatan panjang yang menguras tenaga, bahwa jangan sampai terjadi standar ganda dalam sebuah permbahasan dalam permasalahan.
Satu hal yang harus di pahami adalah pengertian dari as-sunnah dapat di ambil dari dua sisi, yaitu makna luas dan makna sempit, dimana makna luas merupakan definisi pada awal islam, sedangkan makna sempitnya adalah pemahaman dari para ahli ushul fiqh atau pemahaman para fuqaha.
C.    Memposisikan as-sunnah
Menurut ajaran klasik al-qur’an adalah wahyu yang matlu, sedangkan sunnah adalah wahyu yang ghair matlu. Dimana perbedaan keduanya ada di bentuk bukan isi, Al-qur’an baik teks maupun maknanya berasal dari allah dan dapat di jadikan pegangan karena memiliki kepastian yang sempurna, sedangkan as-sunnah merupakann susunan katanya hanyalah pemikiran dan hanya ke andalan maknanya saja yang terjmain.
Ada 3 fungsi sunnah dalam hubungannya dengan al-qur’an yang disepakati para ulama, yaitu :
1.      Sebagai pendukung hokum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an
2.      Menjadi penjelas hokum-hukum yang ada di dalam al-qur’an, dalam memberikan batas-batas sesuatu yang mutlak, merinci yang global atau mnetahksis keumuman al-qur’an
3.      Memeberi hokum mengenai sesuatu yang tidak di sebutkan dalam al-qur’an. Dalam hal ini sunnah mempunyai ototritas penuh dalam menentukan hokum.
D.    Mengkategorikan as-sunnah
Banyak golongan yang mengkategorikan sunnah rasulallah dengan berbagai paham, salah satunya adalah tasyri’, di mana ada segolongan kaum muslimin yang mempunya paham bahwa segala sesuatu yang bersumber pada rasulallah adalah sunnah.
Menurut sayyid ahmad khan secara tegas membedakan sunnah rasulallah membagi menjadi 4 kategori, yaitu :
1.      Yang berkaitan dengan agama (din)
2.      Yang merupakan produk situasi khusus nabi muhammad dan adat istiadat zamannya
3.      Pilihan dan kebiasaan pribadi
4.      Preseden yang berkaitan dengan urusan pokotik dan sipil.
Baginya hanya sunnah autentik kategori pertama yang dapat di klasifikasikan sebagai wahyu dan harus dilaksanakan. Ada pun Mahmud syaltout yang melakukan pengkategorian lebih jelas lagi. Beliau membagi dan membedakan sunnah menjadi tasyri’ dan bukan tasyri’. Ada juga abu Zahra yang membagi sunnah rasul dengan bahasa yang lebih ringkas, dimana beliau membagi sunnah menjadi 3, yaitu perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan penjelasan masalah agama, perbuatan yang khusus bagi rasulallah, seperti beristri lebih ddari 4 dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sifatnya sebagai manusia biasa.
E.     Kritik sanat dan matan
Secara garis besar kritik sanat dan matan adalah proses untuk mendapatkan sunnah rasul yang benar-benar autentik, berkualitas dan dapat dipercaya yang disebut dengan hadits shahih. Dalam prosesnya para ulama menerapkan kaidah-kaidah yang banyak dan ketat dalam penyeleksiannya, hal tersebut di lakukan agar terlihat derajadnya dan hadits tersebut di kemudian hari dapat di pertanggungjawabkan keshahihannya.
F.     Hadis di persimpangan
Maksud dari hadis di persimpangan adalah bergeseknya dua pola pemikiran yang berbeda antara muhaddis dan fuqoha. Dimana muhaddis mengambil hadits yang di temui untuk menambah koleksinya, sedangkan fuqoha hanya mengambil hadits yang mempunyai nilai hokum. Hal ini menghasilkan 2 produk hokum yang berbeda.

BAB V
IJMA’ (‘AMAL AHL AL-MADINAH) DAN TANTANGAN KONTEMPORER
A.    Pembahasan
Secara garis besar ijma’ (‘amal ahl al-madinah) adalah hokum yang hanya beraku di daerah asalnya yaitu madinah. Dimana hokum tersebut terbagi menjadi 3, yaitu :
1.      Ijma’ (hokum) umat.
2.      Ijma’ (hokum) kumpulan dari pendapat para ahli hukum
3.      Ijma’ (hokum) kumpulan pendapat penguasa politik yang bersifat kedaerahan (madinah)
Dalam hal ini tentu saja ijma’ (‘amal ahl al-madinah) tidak menghadapi tantangan kontemporer karena sifatnya yang kedaerahan, apalagi jaman sekarang umat islam sudah terbagi dalam daerah dan Negara.

BAB VI
QIYAS PEMBATASAN METODE IJTIHAD PERSPEKTIF AS-SYAFI’I
A.    Pendahuluan
Al-qur’an dan hadits adalah sumber utama dalam hokum islam. Namun, apabila ada masalah yang datang tidak di temukan secara jelas solusinya di al-qur’an dan hadits maka di perbolehkan mencari solusi dengan berijtihad atau qiyas. Dimana seorang ulama mencari solusi dengan cara mencari celah persamaan, baik dari masalah dan solusinya pada al-qur’an dan hadits.
Tradisi menggunakan qiyas semakin meluas dan melebar dari masa tabi’in ke masa-masa berikutnya, sehingga para mujtahid yang menggunakan qiyass secara mandiri bertebaran di berbagai kota islam. Misalnya di kota Madinah, Makkah, Basrah, Kufah, Syam, Mesir, Qairawan, Andalus, Yaman, dan Bahgdad. Namun di kota iraklah paling menonjol dalam menggunakan qiyas. Para ulama seringkali menggunakan qiyas secara liberal.
Pada perkembangan qiyas di beri nama-nama tertentu, seperti al-qiyas, al-istilisan dan al istishlah. Dan beberapa bentuk tersebut di gunakan oleh ulama ahl al-ra’y dan ahl al-hadits.
Kemudian muncullah as-syafi’I sebagai salah satu tokoh yang memiliki pandangan bertolak belakang dengan tokoh lainnya, serta beliau termasuk salah satu tokoh ahl al-hadits yang di pandang sebagai peletak dasar metode ijtihad secara sistematis. Beliau membatasi penggunaan qiyas , yaitu di gunakan apabila kondisi darurat saja.
B.     Setting Kehidupan as-syafi’i
1.      Biografi Singkat
As-syafi’I memiliki nama  lengkap Muhammad ibn idris ibn al-abbas ibn ustman ibn syafi’I ibn saib ibn ‘ubaid ibn ‘abdi yazaq ibn hasyim ibn al muthalib ibn ‘abd manaf. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, wilayah asqalan (syam) pada tahun150 H/767 M. Ayahnya Idris ibn Abbas adalah keturunan quraisy dari daerah tabalat, suatu desa di hijaz yang merantau ke asqalan dan menetap disana sampai kemudian memiliki anak as-syafi’i. Namun, tidak lama setelah itu Idris ibn abbas meninggal dunia ketika as-syafi’I masih dalam buaian ibunya.
Perjalanan as-syafi’I dalam mendlami hokum islam sangat lah panjang. Dimulai dari menghapal qur’an ketika kecil di tengah keluarga ayahnya hingga beliau berkelana ke pelosok-pelosok aerah demi mendalami pengetahuannya. Hingga pada akhirnya beliau pergi ke mesir hingga akhir hayatnya, setelah sebelumnya beliau pernah menjadi kepala daerah bagian najran. Namun, beliau di fitnah karna ada pejabat menaruh dengki kepada beliau. Beliau meninggalkan seorang istri bernama Hamidah binti Nai IBN ansabah ibn amr ibn utsman ibn affan yang ia nikahi ketika beliau berada di makkah sebelum pergi ke yaman. Beliau juga meninggalkan seorang putra dan dua orang putri.
2.      Kondisi social masa syafi’i
Pada masa dinasti abbasiyyah ini lah ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, dimana banyak buku filsafat yunani yang di terjemahkan kedalam bahasa arab, hal ini membuat para ulama cenderung berfikir secara liberal. Dimasa ini setiap orang memiliki kebebasan untuk berfikir dalam melakukan ijtihad, sehingga perkembangan  hokum islam pada masa ini mencapai pada puncaknya, terlebih lagi dengan diberikannya kebebasan oleh dinasty abbasiyaah.
3.      Respon as-syafi’I terhadap kondisi social pada masanya
Reaksi as-syafi’I dalam menyikapi keadaan social-kultural pada masanya secara apresiatif , bahkan beliau sering berpergian kebebrapa wilayah islam untuk merasakannya. Namun, beliau sangat menolak penggunaan metode ihtisan, menurutnya metode tersebut menetapkan hukm secara liberal dan menimbulkan perbedaan pendapat di kaangan ulama.
C.    Qiyas
Menurut bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”.
Qiyas adalah suatu kegiatan ijtihad yang tidak di tegaskan dalam al-qur’an dan hadits. Qiyas di lakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari rumusan hokum itu. Qiyas di anggap sah bila memenuhi beberapa rukun yang telah di tetapkan dan di seakati para ulama ushul fiqh.

BAB VII
UMAR IBN AL-KHATTAB
IJTIHAD DAN MANHAJNYA
A.       Pendahuluan
Pada setiap zaman di butuhkan seorang cendekiawan yang selalu bisa mencurahkan daya pikirnya untuk menjawab permasalahan yang selalu timbul. Hal ini lah yang mendasari orang-orang selalu menggunakan nalarnya untuk menjawab segala pertanyaan yang solusinya tidak ada dalam al-qur’an dan hadits.
Salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam hal ini adalah umar ibn al-khattab.  Banyak sekali penalaran atau ijtihad yang dilakukan umar, sehingga menimbulkan banyak perdebatan antar ulama.


B.       IJTIHAD-IJTIHAD UMAR DAN MANHAJNYA
1.      Ijtihad selayang pandang
Banyak sekali para hli mengungkapkan pengertian tentang ijtihad, baik secara bahasa maupun istilah. Namun secara garis besar ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan nalar dalam menentukan hokum syaria’ah.
2.      Ijtihad-ijtihad umar
Ijtihad-ijtihad umar sangatlah banyak dan beragam, dan di butuhkan banyak waktu untuk melacak semua ijtihad yang pernah di keluarkan oleh umar, salah satu contoh ijtihad umar, yaitu “mencegah pemberian zakat kepada mua’alaf” dan masih banyak lagi.
3.      Manhaj ijtihad umar
Metodologi yang dilakukan oleh umar dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah dengan cara bermusyawarah, tapi ada beberapa masalah umar langsung mengambil keputusan tanpa bermusyawar terlebih dahulu. Di samping itu semua umar adalah orang yang tidak segan-segan mencabut atau meralat perkataannya.
C.       Antara maslahat dan nash
Umar tidak akan berijtihad jika ijtihadnya melanggar nash, tentunya tujuan umar berijtihad adalah demi kemslahatan umat meskipun ada sebagian ulama yang mengikari hal ini.
D.       Antara maslahat umar dan khusus
Maslahat umar bersifat umum, tetapi umar selalu mencoba mesinergikan antara maslahat umum dan khusus meskipun keduanya saling bertentangan. Akan tetapi umar selalu mendahulukan kemaslahatan umum.

E.       Saddu adz-dzarai’ dan maslahat
Saddu adz-dzarai’ adalah upaya mencegah kemungkinan terjadinya keburukan dengan memotong jalan yang mengarah kepada keburukan dan melanggar aturan agama. Umar pernah melakukan hal ini pada beberapa kejadian. Tentunya umar melakukan hal tersebut demi kemaslahatan umat.



Label:

Cengkeh di Pulau Kabung




Pulau Kabung adalah salah satu Pulau yang terletak dilaut Natuna. Pulau Kabung merupakan bagian dari Desa Karimunting, Dusun Tanjung Gundul, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang.

Pulau Kabung dibagi menjadi 4 bagian dengan 5 RT yaitu, Kabung Utara 1 RT, Kabung Timur 2 RT, Kabung Selatan 1 RT dan Kabung Barat 1 RT.

Menurut cerita yang berkembang dimasyarakat banyak versi mengenai asal-usul kata “kabung” pada Pulau Kabung. Sebagian masyarakat meyakini bahwa kata “kabung” pada Pulau Kabung berarti gabung. Menurut cerita Pak Tahang warga Kabung Barat bahwa jaman dahulu seluruh Kerajaan Sambas berkumpul dan bergabung di Pulau Kabung untuk melawan penjajahan. Namun ada sebagian masyarakat pula yang meyakini bahwa kata “kabung” pada Pulau Kabung adalah gabung/menyatu. Menurut Pak Syamsuri, Pulau Kabung jika dilihat dari 3 sisi, yaitu, sisi timur, sisi barat/selatan daya dan utara, Pulau Kabung akan terlihat sama atau menyatu, oleh karena itu Pulau tersebut dinamakan Pulau Kabung.

Pulau Kabung dihuni oleh mayoritas suku Bugis, khususnya Kabung selatan dan Kabung barat. Namun menurut cerita masyarakat sekitar, suku Bugis adalah generasi ketiga yang menduduki Pulau Kabung, dahulu suku Bugis di pekerjakan oleh orang-orang China/Tionghua “jelas Pak Tejo”. Pulau Kabung pertama kali di huni suku Melayu Sambas, hal ini diperkuat dengan adanya makam orang Sambas di atas bukit yang dikeramatkan dan dijaga oleh masyarakat sekitar. Generasi kedua penduduk Pulau Kabung adalah orang-orang China/Tionghua, namun itu tidak berlangsung lama, karena kemudian orang-orang China/Tionghua pergi meninggalkan Pulau Kabung dengan berbagai alasan yang tidak diketahui.

Pulau Kabung dikenal sebagai pulau seribu bagan, hal ini dikarenakan dahulu penduduk Pulau Kabung memiliki bagan, bahkan hampir setiap penduduk di Pulau Kabung memiliki lebih dari satu bagan. Namun saat ini tidak semua penduduk di Pulau Kabung memiliki bagan, dikarenakan bahan baku pembuat bagan sangat sulit didapat. Bahan baku pembuat bagan adalah kayu nibung yang diperoleh dari daerah Kubu. Saat ini hanya penduduk Pulau Kabung bagian selatan dan barat saja yang masih memiliki bagan.

Selain bagan penduduk di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat juga memiliki kebun cengkeh, bahkan hampir seluruh penduduk di Pulau Kabung barat dan Kabung selatan memiliki kebun cengkeh. Karna memang berkebun cengkeh ini dijadikan pekerjaan alternatif setelah hasil tangkapan dibagan sedang tidak baik dikarenakan cuaca buruk dan sebagainya.

Berkebun cengkeh bukan hanya pekerjaan alternatif semata, namun perkerjaan alternatif yang sangat menjanjikan, pasalnya harga cengkeh sangat tinggi, 1 kg cengkeh basah dihargai sekitar Rp.25.000-Rp.30.000. Sedangkan untuk cengkeh kering harganya dapat mencapai Rp.150.000/kg.

Pemilik kebun cengkeh di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat punya cara tersendiri untuk menandai pohon cengkeh miliknya, biasanya pemilik kebun mewarnai pohon cengkeh miliknya dengan warna yang berbeda dengan pohon cengkeh milik orang lain. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari perebutan lahan maupun pohon cengkeh antara pemilik lahan yang bersebelahan.

Sejarah perkebunan cengkeh di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat dimulai dari didatangkannya bibit cengkeh dari Pulau Lemukutan sekitar 30-40 tahun yang lalu “ kata Bu Sahirah”. Saat ini pembudidayaan bibit cengkeh dilakukan oleh Pak Kemuk warga kabung barat. Harga bibit cengkeh sekitar Rp.10.000 untuk saat ini.

Di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat terdapat 2 jenis pohon cengkeh yaitu cengkeh hutan dan cengkeh zanzibar. Cengkeh hutan buahnya berwarna merah kekuningan, sedangkan cengkeh zanzibar buahnya berwarna merah. Selain itu perbedaan antara keduanya yaitu, pohon cengkeh hutan berbentuk seperti gunung, runcing ke atas, sedangkan cengkeh zanzibar pohonnya seperti tabung.

Pohon cengkeh dapat dipanen setelah berusia 5 tahun, warga setempat menyebutnya belajar berbuah, karna memang pada usia tersebut pohon cengkeh baru berbuah dan dapat dipanen, oleh karena itu pohon cengkeh pada usia tersebut sudah mulai dipanen meskipun belum berbuah secara maksimal.

Panen raya kebun cengkeh di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat terjadi pada bulan desember hingga januari. Saat panen raya tiba, pemilik kebun maupun pekerja yang berada diluar Pulau Kabung datang memadati Pulau Kabung, khususnya Pulau Kabung bagian barat dan selatan. Pekerja pemanen kebun cengkeh di Pulau Kabung barat dan Kabung selatan pada umumnya adalah pekerja tetap, yang artinya pekerja tersebutlah yang memanen kebun cengkeh dari dulu hingga saat ini.

Untuk memanen cengkeh, pekerja di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat menggunakan pengait, koncong dan tangga. Pengait berfungsi untuk menarik buah cengkeh yang berada jauh dari jangkauan, lalu koncong berfungsi untuk menyimpan buah cengkeh yang sudah dipetik, sedangkan tangga digunakan untuk memanjat pohon cengkeh, namun ada sebagian pekerja yang tidak menggunakan tangga untuk memanjat pohon cengkeh. Tangga digunakan dalam memanen cengkeh karena dahan dari pohon cengkeh sangat rapuh dan dapat membahayakan keselamatan pemanen cengkeh.

Pemanenan kebun cengkeh di butuhkan banyak pekerja, karna dalam 1 kebun cengkeh terdapat ratusan pohon cengkeh. Selain daripada itu dalam memanen 1 pohon cengkeh dibutuhkan waktu lebih dari sehari jika pohonnya berbuah secara maksimal. Pohon cengkeh yang berusia lebih dari 10 tahun dapat menghasilkan 10kg cengkeh kering per pohonnya saat panen raya tiba.

Pemanenan pohon cengkeh harus dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman dan profesional, jika tidak, besar kemungkinannya pohon cengkeh tidak bisa berbuah lagi akibat kesalahan pemetikan. Pemetikan cengkeh harus pada tangkai muda hingga 2 baris daun, hal tersebut dimaksudkan agar ranting dapat tumbuh kembali ”jelas Pak Syamsuri”.

Pekerja yang memanen kebun cengkeh di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat semua konsumsinya di tanggung oleh pemilik kebun, pemanen cengkeh hanya bertugas memetik buah cengkeh saja, kemudian ditimbang dalam keadaan basah oleh pemilik kebun, upah pekerja pemetik cengkeh berkisar Rp.8000 – Rp.10.000/kg.

Cengkeh yang sudah di petik, di pisahkan antara tangkai dan buahnya, kemudian dijemur hingga kering. Pengeringan cengkeh di Pulau Kabung selatan dan Kabung barat dilakukan dengan cara cengkeh di hamparkan di atas terpal dan di jemur di bawah terik matahari langsung, kemudian dibolak-balik agar keringnya merata, proses pengeringan di anggap selesai apabila warna cengkeh sudah menjadi kecoklatan dan mudah dipatahkan. Untuk mendapatkan cengkeh yang benar-benar kering di butuhkan waktu minimal 3 hari panas total. Jika tidak, maka di butuhkan waktu minimal seminggu untuk mendapatkan cengkeh yang di inginkan.

Label:

Sumber Hukum Islam : Al-Qur'an dan As-Sunnah




PENDAHULUAN
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikut yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sangsi yang tegas.
Al-Qur’an dan As-sunnah merupakan sumber hukum islam, sebagaimana para ulama juga bersepakat bahwa Al-qur’an dan As-sunnah merupakan sumber hukum islam. 
Al-Quran adalah sumber hukum islam atau dasar hukum islam yang utama dari semua ajaran dan Syariat islamoleh karena itu Tidak dibenarkan jika seorang mujtahid menggunakan dalil lain sebagai landasan sebelum meneliti ayat-ayat al-Qur’an.
As-sunnah adalah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.
Oleh karena itu penting kiranya kita sebagai umat muslim untuk mempelajari sumber hukum islam ini yang nantinya akan berbuah tindakan bukannya pengetahuan. 
PEMBAHASAN
Secara etimologis, Al-quran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a (قرأ) se-wazan dengan kata fu’lan (فعلأن), artinya: bacaan; berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قران berarti مقرؤ , yaitu isim maf’ul objek dari kata قرأ[1] Hal ini sesuai dengan firman allah dalam surat Al-Qiyamah (75): 17, yang artinya : “sesungguhnya tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” Sedangkan secara terminologi, menurut Ali Ash-Shabuni, pengertian al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi atau Rasul-Nya yang penghabisan dengan perantaraan Malaikat Jibril yang ditulis pada mushaf-mushaf, dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai dengan Surah al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas.[2]
Dari pengertian Al-Qur’an di atas, secara umum Al-Qur’an adalah wahyu atau firman Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui perantaraan malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, untuk pedoman bagi umat manusia, yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw yang terbesar, dinukilkan kepada kita secara mutawatir dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.


a.        Kehujjahan Al-Quran menurut pandangan Madzahibul Arba’ah 
Tidak dibenarkan seorang mujtahid menggunakan dalil lain sebagai hujjah sebelum meneliti ayat-ayat al-Qur’an. Pernyataan ini disepakati oleh seluruh ulama yang menyatakan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam. Berikut pandangan para ulama mengenai kehujjahan Al-Qur’an[3] :
1.        Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sepakat dengan Jumhur Ulama’ bahwa Al quran merupakan sumber hukum islam, namun menurut sebagian besar Ulama’ Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama’ mengenai Al quran itu mencakup lafadz dan maknanya.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat Al quran hanya maknanya saja adalah ia membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya bahasa persi walaupun tidak dalam keadaan darurat.
2.        Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik hakikat Al quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. dan bukan makhluq karena kalam Allah adalah sifat Allah, sifat Allah tidak di katakana makhluq, bahkan ia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang mengatakan itu makhluq, dengan demikian dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama’ salaf (shohabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al quran sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah, dan ia pun mengikuti jejak tabi’in dalam cara menggunakan ro’yu.
Berdasarkan ayat ketujuh surat Ali Imran, petunjuk lafadz yang terdapat dalam Al quran terbagi dalam 2 macam, yaitu Mukhamat dan Mutasyabihat.
Ayat – ayat Mukhamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat – ayat Mutasyabihat adalah ayat – ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya, kecuali setelah di selidiki secara mendalam.  Mukhamat terbagi menjadi 2 bagian, yaitu lafadz nash dan lafadz dzahir Lafadz nash adalah lafadz yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qath’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain. Lafadz dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna jelas namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut Imam Malik keduanya dapat di jadikan hujjah, hanya saja lafadz nash di dahulukan daripada lafadz dzahir, menurutnya dilalah nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah dzahir termasuk dzanni, sehingga apabila terjadi pertentangan antara keduanya maka yang di dahulukan adalah dilalah nash.
3.        Pandangan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i sebagaimana para ulama’ lainnya menetapkan bahwa Al quran merupakan sumber hokum islam yang paling pokok bahkan beliu berpendapat “tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya yang terdapat dalam Al quran “ (Asy Syafi’i, 1309:20). Oleh karena itu Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash – nash Al quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang di gunakannya, yakni deduktif . Namun Imam Syafi’i menganggap bahwa Al quran tidak bias di lepaskan dari Assunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali.
Kalau Ulama’ lain menganggap bahwa sumber hokum islam yang pertama yaitu Al quran kemudian Assunnah, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa sumber hokum islam yang pertama itu Al quran dan Assunnah, sehingga seakan – akan beliau menganggap berada pada satu martabat.  Namun sebenarnya Imam Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al quran dan Assunnah berada dalam satu martabat, dan kedudukan Assunnah itu setelah Al quran, tetapi Imam Syafi’i menganggap keduanya berasal dari Allah SWT. meskipun beliau mengakui bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurut beliau Assunnah merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang berada dalam Al quran, kemudian Imam Syafi’i menganggap seluruhnya Al quran itu bahasa arab dan beliau menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al quran terdapat bahasa ajami (luar arab) diantar pendapatnya adalah firman Allah SWT. :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya :“sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al quran dengan berbahasa arab agar kamu memahaminya   
Dengan demikian Imam Syafi’i mementingkan penggunaan bahasa arab misalkan dalam sholat. Dan beliau mengharuskan penguasaan bahasa arab bagi mereka yang ingin memahami dan istinbath hokum dari Al quran.
4.        Pandangan Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syariat islam, yang di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al quran juga mengandung hokum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Al quran itu sebagai sumber pokok islam, kemudian disusul oleh Assunnah. Namun seperti halnya Imam Syafi’i, beliau memandang bahwa Assunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al quran, sehingga tak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hokum itu adalah nash, tanpa menyebutkan bahwa sumber hokum yang itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al quran dahulu atau Assunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al quran dan Assunnah.

Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, yaitu sebagai berikut[4] :
1.      Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.      Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.      Hukum Khuluqiahyakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial.Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan.Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
1.      Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
2.      Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
a)      Hukum munakahat (pernikahan).
b)      Hukum faraid (waris).
c)      Hukum jinayat (pidana).
d)     Hukum hudud (hukuman).
e)      Hukum jual-beli dan perjanjian.
f)       Hukum tata Negara/kepemerintahan
g)      Hukum makanan dan penyembelihan.
h)      Hukum aqdiyah(pengadilan).
i)        Hukum jihad (peperangan).
j)        Hukum dauliyah(antarbangsa).

Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita[5]. Nash-nash al-Qur’an dari segi dalalahnya dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Nash yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tdk tergantung pd hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yg menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayat yang menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu,  dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
2.      Nash yang Zhanni dilalah-nya
 Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yang dapat di takwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyaratnya , iqtidhanya, dan sebagainya.

Sunnah atau hadis artinya adalah cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa: sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), Sunnah Taqriryah (ketetapan)[6].  

Hujjah berarti landasan/argumentasi. Sunnah atau hadits nabi Muhammad Saw merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam sekaligus merupakan wahyu dari Allah seperti Al-Qur’an, hanya saja perbedaan antara keduanya terletak pada sisi lafadz dan makna. Dimana lafadz dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah Swt, sementara Hadits maknanya dari Allah SWT akan tetapi lafadznya dari Rasulullah SAW, kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.
Para ulama sepakat bahwa sunah menempati posisi kedua setelah Alquran dalam sistem hukum Islam yaitu sebagai berikut :
1.      Sunah berfungsi sebagai penjelas bagi Al Quran
2.      Memerinci hal-hal yang disebutkan oleh Alquran secara global
3.      Menentukan arti khusus ayat-ayat yang bersifat umum
4.      Menjelaskan ayat yang mengandung makna yang pelik
5.      Serta menguraikan ayat-ayat yang sekilas tampak ringkas[7]

Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi As-Sunnah sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai As-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran[8].
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari Alquran.
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
1.       Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran.
2.       Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
3.       Menciptakan hukum baru yang  tiada terdapat didalam Alquran.

1.      Sunnah mutawatir (hadits mutawatir)
Ialah sunnah yang diriwayatkan dari seorang rasul, sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’in tabi’in oleh banyak orang sehingga mustahil untuk berdusta menurut adat karena jumlahnya banyak dan perbedaan pandangan serta budaya nya.Biasanya as-sunnah amaliyah yang termasuk bagian ini seperti mengerjakan shalat, puasa, haji, yang bersifat amaliyah.
2.      Sunnah masyurah (hadits masyhur)
Yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh rasulullah oleh seorang, dua orang atau sekelompok sahabat yang tidak mencapai derajat atau tingkatan sunnah mutawatir. Yang termasuk kelompok ini adalah Umar bin khatab, Abdullah bin mas’ud atau Abu bakar as-siddiq seperti hadits :“sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat”
3.      Sunnah ahaad (sunnah ahad)
Yaitu sunnah yang mempunyai satu atau dua sanad yang berlainan yang tidak mencapai derajat masyhurah.


Seperti halnya al-Qur’an, hadis pun demikian terdapat hadis yang qath’i dan zhanni. Sedangkan ukuran keqath’i dan ke zhanni tidak ditinjau dari lafadznya melainkan dari sanad hadis tersebut.
Dari segi kedatangannya, maka sunnah mutawatiran merupakan sunnah yang pasti kedatangannya dari Rasulullah SAW. Karena kemutawatiran periwayatan menunjukkan kepastian mengenai kebenaran beritanya. Sedangkan sunnah masyhurah merupakan sunnah yang apsti datangnya dari shahabi atau sahabat yang menerimanya dari Rasulullah SAW. Akan tetapi sunnah ini tidak pasti datang dari Rasulullah SAW, karena orang yang pertama kali menerimanya dari beliau bukanlah kelompok perawi mutawatir. Oleh karena inilah, maka ulama hanafiyyah menjadikan sunnah masyhurah ini dalam hukum sunnah mutawatir. Jadi ia dapat mentakhsiskan keumuman al-Qur’an, membatasi kemutlakannya, karena sunnah ini dipastikan kedatangannya dari sahabat.
Sunnah ahad adalah sunnah zhannniyah datanganya dari Rasulullah, karena tidak menunjukkan kepastian di dalam sanadnya. Adapun dari segi dalalahnya (pengertiannya), maka setiap sunnah dari beberapa bagian ini, maka kadangkala ada yang dalalahnya qath’i apabila nashnya tidak memungkinkan pentakwilan, dan ada kalanya dalalahnya zhanni apabila nashnya mengandung kemungkinan akwil.

Sabda dan perbuatan yang keluar dari Rasulullah merupakan hujjah atas umat Islam. Kewajiban terhadap segala perbuatan rasulullah hanyalah apabila ia keluar saat dalam fungsinya sebagai Rasulullah dan hal itu dimaksudkan untuk membentuk hukum secara umum dan sebagai tuntunan.
Beberapa hal yang datang dari Rasulullah tapi tidak termasuk syari’at[9]:
1.      Segala hal yang keluar dari Rasulullah yang bersifat naluri kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum adalah bukan syari’at. Karena hal ini bukanlah bersumber dari risalahnya.
2.      Apa-apa yang bersumber dari Rasulullah yang sifatnya pengetahuan manusia, misalnya kepintaran, dan percobaan tentang masalah dunia. Misalnya: sewa menyewa, pertanian, mengatur tentara, siasat perang atau cara pengobatan dan lain-lainnya.
3.      Hal-hal yang keluar dari Rasulullah SAW dan ada dalil yang menunjukkan itu adalah khusus bagi beliau dan bukan pula merupakan tuntunan, maka hal itu bukanlah hukum syari’at Islam secara umum. Sebagaimana beliau menikah dengan lebih dari empat orang istri.


4.       

A.      Simpulan

1.         Al-Qur’an adalah sumber hukum yang utama, yang terdiri dari perintah dan larangan serta didalamnya terdapat nash yang Qath’i dan Zanni.

2.         As-Sunnah merupakan perkataan maupun perbuatan atau taqrir dari Rasullulah yang membentuk suatu hukum dengan sanad yang shahih serta mendatangkan yang Qth’i dan Zanni.

3.         As-Sunnah sebagai urutan yang mengiringi Al-Qur’an, dimana ketika seorang mujtahid menentukan sebuah hukum akan merujuk kepada As-Sunnah ketika tidak terdapat didalam Al-Qur’an.


Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994
Amir syarifuddin, ushul fiqh 1. Jakarta: PT kencana, 2008
Jumantoro Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah2009
http://www.abdulhelim.com/2012/06/alquran-dan-hadis-sebagai-sumber-hukum.html
http://aryaharyanti.blogspot.com/2013/02/sumber-hukum-islam-sunnah.html
http://tarbiyyah-blog.blogspot.com/2012/04/al-quran-sebagai-sumber-hokum-primer.html
http://segalanya90.blogspot.com/2012/10/al-quran-dan-as-sunnah-sebagai-sumber_7.html
Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2003


[1] Amir syarifuddin, ushul fiqh 1, Cet. 4. Jakarta: PT kencana, 2008, hlm. 55
[2] Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah 2009, hlm. 7
[3] http://tarbiyyah-blog.blogspot.com/2012/04/al-quran-sebagai-sumber-hokum-primer.html
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm.34-36
[5] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36
[6] Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh, --Ed. 1. Cet. 4.—Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2003, hlm. 40.
[7] http://aryaharyanti.blogspot.com/2013/02/sumber-hukum-islam-sunnah.html
[8] http://www.abdulhelim.com/2012/06/alquran-dan-hadis-sebagai-sumber-hukum.html
[9] http://segalanya90.blogspot.com/2012/10/al-quran-dan-as-sunnah-sebagai-sumber_7.html 

Label: